Photo by Mu'amar Abdan

Beberapa hari lalu saya dan teman-teman kampus saya harus melakukan kuliah lapangan ke wilayah pesisir untuk mengetahui karakteristik sosial dan budaya masyarakat pesisir. Kami memutuskan untuk mengunjungi gampong (desa)  Lampanah dan Leungah di Kecamatan Seulimum, Kabupaten Aceh Besar. 

Gampong Lampanah berada di Kemukiman Lampanah – Leungah, gampong lainnya yang termasuk dalam kemukiman ini adalah Bereunut, Ujong Kupula, Ujong Mesjid dan Juga Leungah. Dua gampong ini menjadi desa perbatasan di Aceh Besar yang berbatasan dengan Kabupaten Pidie dan masih banyak orang diluar sana yang belum mengetahui gampong ini, jadi apa salahnya untuk kuliah lapangan ke gampong ini sekaligus untuk mengenalkan potensinya.

Kami memutuskan untuk berangkat pagi dari Banda Aceh melewati daerah Krueng Raya. Akses ke dua gampong ini ada tiga jalur, dari Banda Aceh bisa dari wilayah Krueng Raya, dari Lambaro bisa melewati wilayah Ie Suum -  Lamteuba dan dari Seulimum bisa melewati Lamkabeu – Lamteuba. Jalan di ketiga jalur ini sudah bagus, jadi kamu tidak perlu khawatir, namun disarankan untuk tidak berpergian seorang diri karena jika terjadi sesuatu akan susah untuk mencari pertolongan disebabkan jarangnya orang yang melintasi daerah ini. 

Kami tiba di lokasi sekitar pukul 12.00 WIB setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam lebih. Memutuskan untuk istirahat sebentar adalah hal terbaik setelah lelah diperjalanan, sebelum masuk ke gampong ini ada tiga warung kopi sederhana yang bisa menjadi tempat istirahat. Walaupun sederhana warung kopi ini menawarkan kopi hitam pekat yang begitu nikmat dan jujur saya lebih suka menyantap kopi hitam dari warung-warung yang seperti ini. 

Tujuan kami selanjutnya adalah menemui kepala desa atau geuchik di gampong ini. beliau adalah Bapak Muslim yang juga merupakan ayah angkat saya selama KKN. Beliau dan sekdes gampong begitu ramah menjawab pertanyaan kami tentang kondisi gampong. Banyak hal baru yang kami dapatkan dari jawaban-jawaban yang mereka berikan. Setelah lama berbicara dengan geuchik dan sekdes gampong kami memutuskan untuk melihat pantai dan lahan pembuatan garam.

Karakteristik Masyarakat Nelayan Gampong Lampanah
Pantai digampong ini masih begitu indah di pandang mata karena belum terjamah oleh aktivitas manusia, hanya beberapa nelayan saja yang terlihat baru pulang melaut. Deretan pohon-pohon yang ditanam di pantai begitu berjejer rapi bisa dijadikan spot foto yang menarik. Nelayan di Lampanah masih mematuhi adat-adat serta pantangan melaut dan yang melanggarnya akan dikenakan sanksi dengan tegas. Nelayan disini dilarang untuk menggunakan jaring dalam mencari ikan, hanya bisa menggunakan pancing dan juga pukat, ini semua dilakukan untuk menjaga kelestarian ekosistem laut.

Menurut salah satu nelayan yang kami jumpai, beberapa hari yang lalu ada orang dari luar gampong yang mencari ikan dengan jaring dan melaut dihari jumat dikenakan sanksi dengan tegas. Masyarakat di gampong ini mayoritas adalah sebagai petani, mungkin ini disebakan karena topografi wilayah yang dekat dengan laut dan juga dengan gunung sehingga banyak sumber daya yang bisa dimanfaatkan.

Nelayan disini selalu rutin mengadakan kenduri laot setiap satu tahun sekali, bulan September setiap tahunnya dipilih oleh nelayan, biasanya dana yang digunakan juga hasil dari meuripee (patungan) dari anggota kelompok nelayan. Sesuai adat panglima laot, hari jumat nelayan dilarang untuk melaut dan tradisi ini masih dijaga kuat oleh masyarakat dan biasanya mereka hanya melaut sehari lalu pulang disore harinya atau berangkat di sore hari dan pulang pagi (one day fishing). Keterbatasan dalam peralatan dan boat yang digunakan menyebabkan nelayan disini tidak bisa melaut terlalu lama dan jauh. Namun, hal ini tidak terlalu berpengaruh bagi hasil tangkapan mereka karena ekosistem yang masih terhaga sehingga hasil ikannya pun masih melimpah

Lahan garam di Gampong Lampanah (Photo by Mu'amar Abdan)


Wilayah pesisir yang menawarkan berbagai sumberdaya, menjadikan perempuan disini tidak hanya berpangku tangan dalam mencari rezeki. Kebanyakan perempuan disini berprofesi sebagai petani garam tradisional dengan metode penggarukan atau penjemuran tanah dan juga perebusan untuk mendapatkan garam yang berkualitas bagus. Metode yang mereka gunakan sudah menjadi warisan dari nenek moyang yang terus dijaga kelestariannya. Sebenarnya ada metode lain yang bisa digunakan untuk produksi garam yaitu penjemuran air. Kedua cara ini menghasillkan output produksi yang berbeda, dengan metode penggarukan tanah hasil garam lebih sedikit dibandingkan penjemuran air. namun metode ini kurang tepat digunakan di gampong ini karena keterbatasan lahan. Dari tahun ke tahun lahan produksi mereka semakin menciut karena pembukaan tambak.


Lahan Produksi Garam dilihat dari Google Earth
Hasil produksi garam biasanya dijual ke masyarakat sekitar atau ada mugee (pengepul) datang dan membeli hasil produksi kemudian di jual ke Banda Aceh dan sekitarnya. Krisis garam beberapa bulan yang lalu mungkin membawa dampak positif kepada petani garam, dimana harga produksi yang biasanya hanya Rp. 2000 – 3000 menjadi Rp. 4500 – 5000 per kg. Masyarakat yang masih setia mengkonsumsi garam rakyat menjadikan sentra produksi garam di gampong ini terus berjalan.

Masyarakat di Lampanah masih mayoritas dari Aceh Besar dengan adat istiadat yang di pegang teguh. Mulai dari kenduri blang yang berlangsung selama musim tanam padi dan juga kenduri jika ada pernikahan. Adat istiadat yang masih begitu kental menjadikan silaturahmi antar warga selalu terjaga namun sifat gotong royong sudah mulai luntur dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. hari peukan (pasar) di gampong ini setiap hari jumat dan barang-barang yang diperdagangkan biasanya berasal dari Laweung Kabupaten Pidie. Setelah puas berkeliling di tambak garam kami memutuskan untuk bergerak ke Gampong Leungah.

Karakteristik Masyarakat Nelayan Gampong Leungah
Pantai Leungah
Sama halnya dengan Gampong Lampanah, Leungah juga merupakan gampong dikemukiman Lampanah-Leungah, Leungah berbatasan langsung dengan Kabupaten Pidie. Untuk ke gampong ini jarak tempuh dari Lampanah kurang lebih 15 menit dengan kendaraan roda dua atau roda 4. selama dalam perjalanan banyak pemandangan yang bisa kita nikmati, mulai dari hamparan sawah, kebun-kebun masyarakat serta laut yang nampak indah dari kejauhan.

Topografi wilayahnya yang terletak di antara laut dan gunung menjadikan masyarakat Leungah tidak hanya bergantung dari satu sumberdaya saja. masyarakat di gampong ini bisa dikatakan masyarakat yang unik karena bisa memanfaatkan sumberdaya yang ada secara bijaksana. selain melaut, kebanyakan masyarakat di sini juga berprofesi sebagai petani. Walaupun berada di wilayah Kabupaten Aceh Besar, masyarakat di gampong ini banyak yang berasal dari luar Aceh Besar, seperti dari Laweung dan ada juga beberapa yang berasal dari luar Aceh. Sehingga masyarakat disini agak heterogen dibandingkan Lampanah. Namun, tetap rasa sosial dan kekeluargaan disini terjaga dengan baik seperti jika ada orang yang meninggal maupun ada kenduri. 

Pengajian rutin selalu dilaksanakan pada malam Jum’at untuk laki-laki dan hari Jum’at untuk perempuan, selain itu setiap hari kamis juga merupakan hari Peukan (pasar) dimana aktivitas jual beli berlangsung. Hari peukan ini sangat membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dimana susahnya akses ke kota untuk berbelanja. selain itu karena kedekatan jaraknya dengan Kabupaten Pidie, masyarakat disini lebih sering berinteraksi dengan gampong-gampong di kabupaten tetangga dibandingkan dengan di Kabupaten Aceh Besar sendiri. 
 
Nelayan disini biasanya hanya melaut pagi hari sampai sore, tidak ada yang berangkat melaut di malam hari. Boat-boat nelayan disini juga punya pribadi, tidak ada sistem toke bangku di gampong ini, sehingga tidak ada kesenjangan sosial diantara masyarakat. Kenduri laot sendiri tidak ada di gampong ini, namun untuk kegiatan ini mereka bergabung dengan nelayan-nelayan di Gampong Lampanah dan juga gampong lainnya. Selain itu kebanyakan aktivitas berlangsung pada malam hari, pemuda-pemuda gampong banyak yang berkumpul di warung-warung untuk bercengkrama dan bertukar informasi, di pagi hari biasanya mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Kebun cabe salah satu warga leungah
Berada di wilayah pesisir tidak menjadikan masyarakat disini berprofesi sebagai nelayan saja karena kebanyakan masyarakat berprofesi sebagai petani. Bagi laki-laki bila tidak sedang melaut mereka ke ladang untuk menanam cabe atau pisang. Sedangkan bagi perempuan kebanyakan banyak yang bekerja di sawah, pada saat musim padi mereka ke sawah, setelah musim panen, lahan sawah biasanya dimanfaatkan untuk menanam kacang. Sama halnya dengan Lampanah, di gampong ini ada juga petani garam yang kebanyakan adalah perempuan. Menjadi petani garam merupakan tradisi masyarakat sejak dahulu, garam hasil produksi biasanya menjadi konsumsi pribadi maupun dijual ke masyarakat sekitar gampong atau biasanya di jual ke Gampong Laweung Kabupaten Pidie.
Lahan garam leugah dilihat dari Google Earth

Metode pembuatan garam di gampong ini juga sama seperti di Lampanah, dengan penggerukan tanah dan perebusan. namun, lahan garam disini langsung dekat dengan laut, berbeda di Lampanah yang disekitar tambak. garam yang dihasilkan disini pun masih agak kurang bagus bila dibandingkan dengan garam lampanah. Menjadi petani garam juga merupakan sumber rezeki dari perempuan-perempuan di gampong ini. 


Banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran dari dua gampong perbatasan di Aceh Besar ini mereka  masih begitu menjaga adat dan istiadat, mulai dari adat di gampong dan adat dilaut. Ekosistem laut yang masih terjaga membuat hasil tangkapan masih begitu melimpah. sebuah pepatah zaman dulu mengatakan "musém timu jak tarék pukat, musém barat jak meuniaga" Yang artinya musim timur (angin timur) lebih baik pergi melaut, musim barat (angin barat) lebih baik untuk berdagang.