Hari rabu tanggal 13 Desember 2017 kita dikejutkan dengan headline berita dari Serambi Indonesia tentang mayoritas garam aceh yang bernajis, mungkin ini menjadi dilema besar bagi kita sendiri, dimana dalam kehidupan sehari-hari garam memang sama sekali tidak bisa dipisahkan dari kita.

Garam menjadi kebutuhan pokok bagi setiap orang, apalagi mayoritas masyarakat Aceh lebih memilih mengkonsumsi garam tradisional daripada garam yang beryodium hasil produksi pabrik-pabrik besar, alasannya pun sangat sederhana, garam tradisional rasanya lebih enak dibandingkan garam yodium.



Sebenarnya isu garam aceh tidak halal bukan yang pertama kali terjadi, Juli lalu beberapa media juga memberitakan hal yang sama. Munculnya pernyataan ketidakhalalan garam di Aceh akan menjadi pukulan yang menyakitikan untuk para petani garam, karena bisa menurunkan pendapatan mereka dimana mayoritas petani garam kita masih menggunakan metode tradisional untuk produksi garam.  
 

Jika kita melihat secara keseluruhan di Aceh sendiri ada beberapa tempat yang menjadi sentra produksi garam tradisional, mulai dari Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara dan juga Aceh Timur.

Jika kita melihat data yang dikeluarkan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan untuk rentang tahun 2013 – 2016 produksi garam tradisional di Aceh mulai dari Aceh Besar (159.33, 442.48, 800.00, 777.91), Aceh Timur (221.47, 661.17, 554.84, 839.69), Aceh Utara (2355, 2970, 1781, 2376), Bireuen (6277,43), Pidie (3278.61, 4020.25, 6000, 3744.11) Pidie Jaya (579.35) per ton setiap tahunnya (www.statistik.kkp.go.id).


KKP sendiri secara rutin melakukan pembinaan dan pendampingan kepada petani garam setiap tahunnya melalui penyuluh perikanan agar petani garam bisa mandiri dalam melakukan proses produksi garam dengan menjaga kehalalan hasil produksi.

KKP memberdayakan para petani garam ini dengan program pemberdayaan usaha garam rakyat (PUGaR) dan kabupaten yang menjadi prioritas ditahun ini adalah Aceh Besar, Pidie dan juga Aceh Timur sedangkan kabupaten lainnya dianggap sudah bisa mandiri dalam melakukan produksi dan ada sebagian tidak memiliki potensi yang besar untuk dijadikan program prioritas.

Para petani garam ini tergabung dalam beberapa kelompok usaha perikanan yang beranggotakan 5 – 16 orang dengan hasil produksi yang masih berskala rumah tangga. Lahan garam atau lancang sira yang digunakan ada juga yang beberapa bukan lahan pribadi dan penggunaannya secara bersama. Biasanya lahan ini bisa hibah dari dermawan atau tanah gampong yang dimanfaatkan.

Proses produksi garam tradisional.
Proses Pembuatan Garam Tradisional

Mungkin ini telah menjadi pertanyaan mendasar bagi orang awam yang sama sekali tidak mengetahui proses produksi garam. Di Aceh proses produksi garam masih menggunakan metode tradisional yang diturunkan secara turun-temurun dari orang-orang tua dulu.

Proses produksi secara tradisional ini ada dengan dua cara yaitu dengan metode penjemuran tanah dan penjemuran air. Metode penjemuran tanah masih dilakukan oleh petani-petani garam berskala kecil, sedangkan penjemuran air sudah dilakukan oleh petani garam yang sedikit lebih maju.


Dalam prosesnya metode penjemuran air lebih banyak menghasilkan garam dengan sedikit tenaga yang dikeluarkan daripada metode penjemuran tanah. Namun metode ini membutuhkan biaya produksi yang lebih besar.

Metode penjemuran tanah dimulai dengan penggarukan tanah atau pasir yang mengandung garam. Tanah ini dijemur selama kurang lebih 2 – 3 hari. Tanah yang sudah kering ini dikumpulkan kemudian dibentuk sepeti sumur (mount) atau ada beberapa yang menggunakan meja penirisan (ancak) seperti di Pidie.

Sumur ini dibentuk seperti kawah gunung berapi yang dibawahnya sudah terlebih dahulu dilapisi daun kelapa sebagai penyaring air. air laut yang disiram ke mount ini mengalir ke alur kecil dibawah mount yang sudah terlebih dahulu dibuat dan disamping mount ini juga ada lubang kecil tempat penampungan air tua.


Disebut air tua karena air laut hasil penyaringan ini memiliki kadar garam yang lebih asin. Air tua ini diambil dengan menggunakan timba kemudian dimasukkan kedalam bak penampungan. Air ini tidak langsung dimasak, namun harus didiamkan selama 1 – 2 hari agar debu-debu yang terdapat dalam air mengendap.


Air tua yang sudah didiamkan ini kemudian direbus atau dimasak sampai menjadi butiran-butiran garam. Proses perebusan ini bisa sampai 4 – 6 jam lamanya. Garam hasil perebusan ini masih kurang bagus untuk dikonsumsi, garam ini harus ditiriskan terlebih dahulu sampai dia kering dan warnanya menjadi putih. Dalam sehari proses produksi bisa dua kali dilakukan yaitu pada pagi dan siang hari.

Produksi garam dari mereka ini biasanya dijual kepada pengepul (muge) dengan harga Rp. 4.500 – 8.000 per kilonya. Biasanya pengepul atau muge akan datang sehari atau dua hari sekali untuk mengambil garam.

Hal ini agak jauh berbeda dengan produksi garam yang sudah berskala besar dengan penjualannya sudah dikemas dan langsung dipasarkan ke toko-toko kelontong dengan harga bisa mencapai Rp. 10.000 per kilo.

Proses produksi bisa dilakukan setiap hari tergantung cuacanya. Bila cuaca tidak mendukung maka petani tidak bisa menjemur tanah. Biasanya mereka sudah terlebih dahulu menyiapkan stock air tua di bak penampungan agar proses pemasakan garam bisa dilakukan setiap hari.

Satu hal yang menjadi kesulitan mereka selama ini selain cuaca yaitu bahan baku kayu bakar untuk perebusan garam. Biasanya mereka membeli kayu seharga Rp. 1.000.000 per satu truk, kayu ini bisa digunakan untuk beberapa kali produksi. Tapi bila sudah tidak ada kayu mereka biasanya berhenti produksi untuk sementara waktu atau menyiapkan air tua untuk penyimpanan.

Memberdayakan Petani Garam 
Garam Hasil Produksi di Kajhu, Aceh Besar
Ada beberapa hal yang mungkin bisa dijadikan alasan kenapa para petani garam kita belum mengurus sertifikat halal untuk produksi mereka, seperti garam yang langsung dijual kepada pengepul yang nantinya akan dikemas sendiri oleh pengepul.

Hasil produksi yang bukan dijual langsung oleh petani membuat mereka kurang bersemangat untuk mengurus sertifikat halal. Keterbatasan biaya dan rumitnya dalam pengurusan serta keterbatasan waktu menjadikan mereka enggan untuk mengurus sertifikat tersebut, namun bukan berarti mereka tidak berniat untuk mengurusnya.


Kecilnya skala produksi garam yang selama ini mereka tekuni membuat mereka harus berpikir ulang dalam pengurusan tersebut karena yang biaya dikeluarkan untuk pengurusan adminitrasi tersebut jauh berbeda dengan pendapatan mereka selama ini

Bila kita melihat secara keseluruhan, produksi garam dengan perebusan untuk mendapatkan garam hanya ada di Aceh. Didaerah lain di Indonesia metode produksi garam dengan metode penjemuran air atau sering disebut geomembran.

Air laut dijemur selama beberapa hari, yang kemudian akan langsung membentuk kristal-kristal garam namun masih dalam bentuk bongkahan kecil seperti kerikil, untuk mendapatkan garam konsumsi biasanya garam ini dihancurkan lagi dengan mesin. Ada beberapa yang juga dijadikan sebagai garam industri.


Metode ini lebih banyak menghasilkan garam dibandingkan metode yang digunakan petani kita. Garam-garam yang berbentuk kristal ini biasanya digunakan oleh petani kita sebagai bibit garam yang digunakan ketika musim hujan untuk mendapatkan hasil produksi yang maksimal. Garam hasil produksi petani kita yang dimasak terlebih dahulu menurut saya sangat cocok digunakan untuk garam konsumsi.

Sudah menjadi tanggung jawab kita bersama, mulai dari pemerintah maupun elemen-elemen terkait untuk membantu para petani garam tradisional dalam memberdayakan usaha mereka. Mulai dari proses pengemasan yang menarik minat pembeli, pengurusan SNI sebagai standar kualitas garam konsumsi serta sertifikat halal yang memang wajib dimiliki sebuah produk kemasan.

Karena sebenarnya yang dibutuhkan petani kita adalah sebuah solusi untuk menjadikan hasil produksi garam lebih baik sehingga nantinya garam tradisional kita bisa dipasarkan di supermaket tidak hanya di toko-toko kelontong.