Mangrove merupakan
tanaman yang identik dengan wilayah pesisir. Mangrove yang hidup di tempat
berlumpur, maupun di pasir menawarkan berbagai macam manfaat, mulai dari tempat
ikan bermain, mencari makan, tempat untuk berlindung dan yang jarang di ketahui
oleh orang banyak yaitu sebagai penjerat sedimen.
Sedimen yang
terperangkap di area tumbuhan mangrove lama kelamaan akan membentuk tanah baru
dan bisa menambah garis pantai suatu wilayah. Bahasa ilmiahnya proses ini
dikatakan sebagai proses sedimentasi. Mangrove hampir tidak memiliki sisi
negatif sama sekali malah sangat banyak sisi positif yang bisa dirasakan
masyarakat pesisir jika mangrove terus dijaga habitatnya.
Mangrove yang
hidup secara alami akan membentuk sebuah zonasi yang sangat bagus untuk kawasan
pesisir namun belakangan ini sudah banyak sekali penembangan hutan mangrove
yang merusak sehingga pola zonasi yang terdapat dihutan mangrove pun hilang.
Kesadaran masyarakat dalam melakukan rehabilitasi mangrove sekarang semakin
tinggi. Program-program rehabilitasi mangrove terus digelakkan baik dari
pemerintah, LSM peduli lingkungan dan juga masyarakat itu sendiri. Program
rehabilitasi mangrove sejatinya tidak dapat mengembalikan pola zonasi mangrove
karena kebanyakan mangrove yang dijadikan bibit untuk rehabilitasi dari jenis Rhizopora sp atau sering disebut bakau. Di
sinilah letak perbedaan dasar dari mangrove alami dan mangrove rehabilitasi
yaitu pola zonasi
Di Aceh sendiri
ketika tsunami 2004 terjadi banyak mangrove yang rusak, besarnya kerusakan
hutan mangrove, menurut Lapan (2005)
mencapai 32.003 ha. Data kerusakan mangrove setelah tsunami begitu bervariasi
tapi satu hal yang pasti setelah tsunami 2004, Aceh telah banyak kehilangan
hutan mangrove. Pemerintah, LSM-LSM dibantu oleh masyarakat terus gencar
melakukan rehabilitasi mangrove di berbagai tempat. Tingkat keberhasilan
rehabilitasi mangrove pun masih bisa dikatakan rendah, hal ini karena adanya
ketidaksesuain mangrove yang ditanam dengan tanah di lokasi penanaman, harusnya
sebelum dilakukan penanaman mangrove adanya sebuah kajian khusus mangrove jenis
apa yang sesuai untuk ditanam dilokasi tersebut.
Pola Zonasi Mangrove Secara Alami.
Dok. Pribadi |
Bengen, (2004)
memaparkan pola zonasi mangrove secara alami biasanya di barisan depannya bisa
kita jumpai mangrove jenis Api-api (Avicennia
sp.), kemudian diikuti oleh jenis Bogem (Soneratia
sp.) dan jenis Bakau (Rhizopora sp.).
pola zonasi yang teratur pada suatu kawasan mangrove akan mendatangkan
manfaatnya tersendiri untuk kehidupan masyarakat pesisir.
Mangrove jenis Api-api
(Avicennia sp.) dan Bogem (Soneratia sp.) biasanya hidup di tanah
yang berpasir, namun sangat sulit untuk menjadikan buah dari mangrove ini
sebagai bibit semai untuk rehabilitasi dikarenakan prosesnya yang lama.
Akibatnya, banyak yang menjadikan mangrove jenis Bakau (Rhizopora sp.) sebagai semai andalan untuk proses rehabilitasi.
Mangrove jenis ini biasanya hidup ditanah yang berlumpur, tidak cocok bila
ditanam di pasir seperti di tepi pantai karena dia akan mati.
Selain pentingnya
melakukan kajian terlebih dahulu sebelum melakukan rehabilitasi mangrove di
suatu tempat, akan lebih baik juga dengan adanya sosialisasi atau edukasi
kepada peserta rehabilitasi mangrove sebelum turun ke lapangan melakukan
rehabilitasi. Peserta diajarkan bagaimana untuk memilih bibit mangrove yang
sesuai untuk ditanam di jenis-jenis tanah tertentu dan juga proses penanaman
bibit mangrove yang baik dan juga benar agar tingkat keberhasilan rehabilitasi
mangrove lebih tinggi.
Tingginya
keberhasilan mangrove akan mengembalikan fungsi dan manfaat mangrove untuk
kepentingan masyarakat pesisir. Di mangrove masyarakat pesisir biasanya mencari
rezeki, menjaga keberlangsungan mangrove kita juga turut serta menjaga
sumberdaya pesisir dan kehidupan fauna-fauna laut yang ada di mangrove.